Kisah Bajak Laut di Indonesia yang Jarang Diketahui
Kata lanun dalam KBBI dan Kamus Dewan Malaysia memiliki arti bajak laut. Kata tersebut berasal dari nama suku di Mindanao, Iranun.
Iranun atau Illanun ialah salah satu dari beberapa suku muslim (Bangsamoro) yang bermastautin di Mindanao, Sulu, dan Sabah. Bersama suku Balangingi, orang Iranun dahulu dikenal sebagai perompak yang bekerja dari ujung barat Papua sampai Indocina. Mereka dikenal merompak kapal para saudagar, memusnahkan kampung-kampung pesisir, dan mengambil penduduk sebagai budak. Naskah-naskah Melayu dan Bugis banyak meriwayatkan perangai bajak laut ini.
Sejak kolonialisme, siasat perompakan menjadi lebih canggih. Dengan rencana yang matang, 40-50 perahu berisi perompak bersenjata sudah cukup untuk mengacaukan sebuah permukiman besar. Mereka juga pandai memanfaatkan teknologi yang mereka peroleh, misalnya kompas, teropong, dan senjata. Senjata itu diperoleh baik melalui perdagangan maupun melalui perompakan.
Kesultanan Sulu dan Maguindanao, tempat asal suku Iranun, menjadi makmur akibat kegiatan para lanun. Saat pinisi Bugis, jung Cina, dan kapal Eropa jumlahnya semakin banyak di antara Filipina, Kalimantan, dan Sulawesi, mereka mengambil banyak timah, rempah, candu, mesiu, teh, teripang, senjata, dan budak. Datu-datu Tausug memegang kendali atas perdagangan budak. Pada 1774-1798 M menurut catatan Belanda dan Spanyol, diketahui ada 150-200 lanong (kapal lanun sepanjang 9 m) beredar di Laut Sulawesi tiap tahunnya.
Kegiatan lanun merosot menjelang akhir kurun ke-19 M. Teknologi bahari mutakhir di Barat tidak mampu dikejar oleh lanun-lanun ini, belum lagi dengan adanya larangan perbudakan dan iktikad Spanyol dan Amerika Serikat untuk menaklukkan Mindanao dan Sulu.
Selain lanun Iranun, di pesisir barat Sumatra ada kisah tentang Sidi Marah yang acap bermasalah dengan Belanda. Di Selat Melaka, bajak laut sudah bertebaran sejak zaman Sriwijaya, bahkan sampai saat ini, keberadaan mereka masih menjadi masalah bagi keamanan laut Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Disadur dari Quora
Iranun atau Illanun ialah salah satu dari beberapa suku muslim (Bangsamoro) yang bermastautin di Mindanao, Sulu, dan Sabah. Bersama suku Balangingi, orang Iranun dahulu dikenal sebagai perompak yang bekerja dari ujung barat Papua sampai Indocina. Mereka dikenal merompak kapal para saudagar, memusnahkan kampung-kampung pesisir, dan mengambil penduduk sebagai budak. Naskah-naskah Melayu dan Bugis banyak meriwayatkan perangai bajak laut ini.
Sejak kolonialisme, siasat perompakan menjadi lebih canggih. Dengan rencana yang matang, 40-50 perahu berisi perompak bersenjata sudah cukup untuk mengacaukan sebuah permukiman besar. Mereka juga pandai memanfaatkan teknologi yang mereka peroleh, misalnya kompas, teropong, dan senjata. Senjata itu diperoleh baik melalui perdagangan maupun melalui perompakan.
Kesultanan Sulu dan Maguindanao, tempat asal suku Iranun, menjadi makmur akibat kegiatan para lanun. Saat pinisi Bugis, jung Cina, dan kapal Eropa jumlahnya semakin banyak di antara Filipina, Kalimantan, dan Sulawesi, mereka mengambil banyak timah, rempah, candu, mesiu, teh, teripang, senjata, dan budak. Datu-datu Tausug memegang kendali atas perdagangan budak. Pada 1774-1798 M menurut catatan Belanda dan Spanyol, diketahui ada 150-200 lanong (kapal lanun sepanjang 9 m) beredar di Laut Sulawesi tiap tahunnya.
Kegiatan lanun merosot menjelang akhir kurun ke-19 M. Teknologi bahari mutakhir di Barat tidak mampu dikejar oleh lanun-lanun ini, belum lagi dengan adanya larangan perbudakan dan iktikad Spanyol dan Amerika Serikat untuk menaklukkan Mindanao dan Sulu.
Selain lanun Iranun, di pesisir barat Sumatra ada kisah tentang Sidi Marah yang acap bermasalah dengan Belanda. Di Selat Melaka, bajak laut sudah bertebaran sejak zaman Sriwijaya, bahkan sampai saat ini, keberadaan mereka masih menjadi masalah bagi keamanan laut Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Disadur dari Quora