Kenapa Orang Zaman Dulu Cenderung Punya Banyak Anak?
Peribahasa “Banyak anak, Banyak Rezeki”. Dalam kehidupan masyarakat kita terutama orang-orang dulu, ada ungkapan banyak anak banyak rejeki, pengertian rejeki disini biasanya lebih mengacu kepada materi (uang/harta benda). Ungkapan ini mungkin tidak banyak dianut oleh generasi muda sekarang, namun bagi sebagian orang masih dipegang kuat karena terkait juga dengan ajaran agama (Islam).
Zaman dulu orang-orang meyakini bahwa banyak anak, artinya banyak rezeki.
Hal ini mungkin dipengaruhi ketika zaman dulu (terutama sebelum revolusi industri dan ketika masih zaman penjajahan), profesi yang bisa dipilih seseorang hanya terbatas sebagai petani, pedagang dan berkebun.
Akses pendidikan pun terbatas hanya bisa dinikmati golongan menengah ke atas. Sehingga orang menengah ke bawah terpaksa berkebun atau jadi petani untuk menunjang kehidupannya.
Dan kalau menjadi petani di ladang, siapa yang bisa membantu dengan upah yang minimal?
Daripada mempekerjakan tetangga, lebih murah mempekerjakan anak sendiri bukan?
Itulah mungkin kenapa orang-orang dulu suka memiliki anak banyak. Karena semakin banyak anaknya, semakin banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan di ladang. Sehingga mereka rezekinya menjadi banyak pula (hasil panen melimpah).
Namun, dengan terbukanya akses pada pendidikan dan majunya IPTEK. Orang-orang memiliki banyak pilihan karir selain menjadi petani. Sehingga tidak relevan lagi pepatah “banyak anak, banyak rezeki”. Karena orang-orang tidak perlu lagi kerja di ladang untung hidup dan menafkahi keluarganya.
Belum lagi ditambah tantangan kehidupan masyarakat jaman dulu berbeda sekali dengan masyarakat sekarang. Zaman dulu kalau sepasang suami istri punya anak 10, setiap anak cukup diberi makan dan pakaian saja.
Hiburan, ada korelasi yang cukup kuat antara hiburan dan tingkat kelahiran. Di daerah dimana hiburan elektronik tersedia secara luas: televisi, radio, nonton bareng. Tingkat kelahiran menurun. Walaupun tidak otomatis merupakan hubungan sebab-akibat, namun korelasi ini terlalu kuat untuk diabaikan. Mungkin karena hiburan menyebabkan bapak2 senang begadang, yang otomatis mengurangi waktu dengan ibu2. Atau Ibu2 terinspirasi dengan cerita2 sinetron yang rata2 anaknya sedikit (supaya hemat naskah dan casting) sehingga ngga terlalu semangat punya anak terus. Yang jelas kebutuhan akan menikmati hiburan mendorong orang mencari cara memiliki waktu luang lebih dengan: mengurus lebih sedikit anak.
Zaman dulu orang-orang meyakini bahwa banyak anak, artinya banyak rezeki.
Hal ini mungkin dipengaruhi ketika zaman dulu (terutama sebelum revolusi industri dan ketika masih zaman penjajahan), profesi yang bisa dipilih seseorang hanya terbatas sebagai petani, pedagang dan berkebun.
Akses pendidikan pun terbatas hanya bisa dinikmati golongan menengah ke atas. Sehingga orang menengah ke bawah terpaksa berkebun atau jadi petani untuk menunjang kehidupannya.
Dan kalau menjadi petani di ladang, siapa yang bisa membantu dengan upah yang minimal?
Daripada mempekerjakan tetangga, lebih murah mempekerjakan anak sendiri bukan?
Itulah mungkin kenapa orang-orang dulu suka memiliki anak banyak. Karena semakin banyak anaknya, semakin banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan di ladang. Sehingga mereka rezekinya menjadi banyak pula (hasil panen melimpah).
Namun, dengan terbukanya akses pada pendidikan dan majunya IPTEK. Orang-orang memiliki banyak pilihan karir selain menjadi petani. Sehingga tidak relevan lagi pepatah “banyak anak, banyak rezeki”. Karena orang-orang tidak perlu lagi kerja di ladang untung hidup dan menafkahi keluarganya.
Belum lagi ditambah tantangan kehidupan masyarakat jaman dulu berbeda sekali dengan masyarakat sekarang. Zaman dulu kalau sepasang suami istri punya anak 10, setiap anak cukup diberi makan dan pakaian saja.
Hiburan, ada korelasi yang cukup kuat antara hiburan dan tingkat kelahiran. Di daerah dimana hiburan elektronik tersedia secara luas: televisi, radio, nonton bareng. Tingkat kelahiran menurun. Walaupun tidak otomatis merupakan hubungan sebab-akibat, namun korelasi ini terlalu kuat untuk diabaikan. Mungkin karena hiburan menyebabkan bapak2 senang begadang, yang otomatis mengurangi waktu dengan ibu2. Atau Ibu2 terinspirasi dengan cerita2 sinetron yang rata2 anaknya sedikit (supaya hemat naskah dan casting) sehingga ngga terlalu semangat punya anak terus. Yang jelas kebutuhan akan menikmati hiburan mendorong orang mencari cara memiliki waktu luang lebih dengan: mengurus lebih sedikit anak.